Indonesia Sedang Berada Dalam Situasi Perang Ekonomi, Sri Mulyani Buka Suara
- Benaya Milionhart
- 4 days ago
- 3 min read

KALTENG NETWORK, PALANGKA RAYA – Menghadapi perang ekonomi global saat ini, pemerintah Indonesia tetap waspada. Kebijakan tarif tinggi Amerika Serikat terhadap negara-negara mitra dagangnya menyebabkan perang dagang, yang dibalas oleh negara-negara lain, seperti China dan Kanada, terhadap barang-barang AS.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan dalam acara Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden RI di Jakarta, dikutip Kamis (9/4/2025), "Nah, Presiden Prabowo telah menyampaikan bahwa menteri-menteri ekonomi yang sekarang harus menghadapi kondisi perang ekonomi ini."
Sri Mulyani menyatakan bahwa Presiden Prabowo telah meminta jajaran menterinya untuk mengambil tindakan antisipatif dalam menghadapi situasi perang ekonomi saat ini.
Mereka melakukannya bukan dengan memulai perang ekonomi; sebaliknya, mereka melakukannya dengan mengambil sikap untuk meningkatkan ekonomi negara mereka melalui kebijakan reformasi dan deregulasi.
"Kami yang berada di garis depan harus berinisiatif untuk melakukan reformasi dan regulasi," katanya.
Pemerintah mengambil tindakan ini karena telah belajar dari pengalamannya menghadapi setiap krisis ekonomi dan konflik ekonomi di seluruh dunia.
Sri Mulyani mengatakan bahwa krisis ekonomi sebelumnya, seperti pada 1980-an dan perang ekonomi, diatasi dengan memperbaiki regulasi dan meningkatkan ekonomi domestik.
Sri Mulyani menegaskan, "Belajar dari semua shock ini, saat terjadinya shock ini, justru ini menjadi kesempatan untuk mereformasi dan melakukan deregulasi."
Pemerintah menganggap tindakan itu membuahkan hasil, termasuk mempertahankan stabilitas pertumbuhan ekonomi di bawah 5% dan stabilitas kredibilitas fiskal, yang ditunjukkan oleh defisit APBN yang tetap di bawah batas aman 3%.
Menurutnya, kami telah diminta untuk memforumlasikan deregulasi dan mempermudah iklim usaha berdasarkan instruksi Bapak Presiden, bahkan sebelum Trump mengumumkan Tarif Liberation Day.
Sebagaimana diketahui, setelah Presiden Trump mengumumkan pengenaan tarif perdagangan yang tinggi terhadap mitra dagang utamanya pada awal bulan ini, sejumlah pemimpin negara mengadopsi berbagai kebijakan retaliasi atau mengadopsi tarif tinggi sebagai tanggapan.
China, negara terbesar di Asia, tidak tinggal diam setelah AS memberlakukan tarif 34%. Semua barang China yang masuk ke AS akan dikenakan bea masuk 54%.
Akibatnya, Beijing juga mengenakan tarif barang AS sebesar 34%. Selain itu, China memberlakukan kontrol ekspor pada 16 perusahaan Amerika untuk mencegah mereka mengirimkan produk China kecuali untuk dua kebutuhan.
Selain itu, ekspor tujuh jenis mineral tanah yang sangat jarang ke Amerika Serikat dikontrol. Gadolinium, terbium, samarium, dan lainnya termasuk dalam kategori ini.
Setelah Trump menjabat sebagai presiden AS untuk kedua kalinya, hubungan AS-China kembali memanas.
Karena itu, Trump kemudian menyatakan bahwa dia akan mengenakan tarif tambahan sebesar 50% atas impor China jika Beijing tidak mencabut kebijakan tarif balasannya pada Selasa. Jika ini terjadi, tarif barang China di Amerika Serikat akan meningkat menjadi 104%.
Singapura, tetangga dekat Indonesia, menanggapinya dengan membentuk gugus tugas nasional untuk membantu bisnis dan karyawan.
Ini merupakan tanggapan atas tarif baru AS, yang memiliki potensi untuk memperlambat pertumbuhan ekonomi negara dan berdampak pada upah dan lapangan kerja.
Vietnam, yang merupakan bagian dari ASEAN, menanggapi dengan bernegosiasi dengan AS dan membeli lebih banyak produk AS, termasuk produk keamanan dan pertahanan.
Perdana Menteri Vietnam Pham Minh Chinh telah meminta Trump untuk menunda penerapan tarif selama setidaknya 45 hari untuk memberi waktu untuk perundingan dan mendekati dan bernegosiasi dengan Amerika untuk mencapai kesepakatan bilateral, "bergerak menuju neraca perdagangan yang berkelanjutan."
Laman media lokal disebutkan AFP sebagai berikut: "Mereka juga akan terus membeli lebih banyak produk AS yang kuat dan diminati Vietnam, termasuk produk yang terkait dengan keamanan dan pertahanan; mendorong pengiriman awal kontrak perdagangan pesawat."
Tidak seperti Uni Eropa (UE), yang sedang mempertimbangkan untuk menaikkan tarif balasan 25% terhadap berbagai produk AS. Tindakan ini merupakan tanggapan langsung terhadap tarif Trump terhadap produk baja dan aluminium Eropa, yang dianggap oleh UE sebagai tindakan proteksionis sepihak yang mengancam hubungan dagang jangka panjang.
Maros Sefcovic, kepala urusan perdagangan Uni Eropa, memberikan penjelasan. Ia menyatakan bahwa, meskipun tarif balasan ini dimaksudkan untuk menimbulkan tekanan, nilainya diperkirakan akan lebih kecil dari perkiraan awal sebesar € 26 miliar.
Sefcovic menyatakan, seperti dilansir Reuters pada Selasa, "Langkah ini menunjukkan komitmen kami untuk menjaga keseimbangan dalam hubungan perdagangan internasional tanpa memperkeruh situasi yang sudah tegang."-red
Foto : CNBC Indonesia
コメント